PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEREMPUAN DALAM SISTEM HUKUM WARIS ADAT NIAS

                                 ABSTRAK
Zaman yang serba modern ini telah memberikan kesempatan kepada masyarakat Nias untuk dapat berkembang dengan seluas-luasnya. Berkarya dengan bakat dan profesi yang diembankan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Namun, akibat dari perkembangan yang sangat pesat dalam rangka pembangunan dan pemekaran disetiap kabupaten. Perkembangan yang melaju cepat berdampak pula pada sistem perkawinan antara suku Nias dengan suku-suku lainya yang berada di luar Pulau Nias. Tidak hanya perkawinan yang mengalami pergeseran, akan tetapi sistem pewarisan akan bergeser secara lambat lau. Umumnya, dalam masalah pewarisan di pulau Nias lebih mengutamakan adanya anak laki-laki dan kepada anak laki-laki sajalah harta warisan akan dibagi-bagi.
Penelitian ini bersifat penelitian kualitatif. Adapun metode peneliti yang digunakan adalah metode peneliti yurudis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti dan menelaah bahan-bahan kepustakaan, khususnya perundang-undangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan pewarisan adat, sebagai data sekunder juga data dokumen-dokumen resmi, pendapat para sarjana, artikel-artikel dan sebagainya. Untuk memperoleh data primer, dilakukan juga penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian langsung dengan masyarakat setempat yang dijadikan sampel dan beberapa informan seperti tokoh-tokoh adat.
Dalam dimensi kemanusiaan, laki-laki dan wanita mempunyai hak dan kewajiban untuk menata hari depannya sendiri sesuai dengan fitrah kemandirian dan dianalisasikan dalam realitas lingkungan sosial, ekonomi, budaya, ekologi, dan politik. Dengan demikian, perwujudan kemandirian merupakan keseimbangan dinamis antara hak dan kewajiban yang mengacu pada situasi lingkungan dan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengkondisikan lingkungan tersebut walau sulit untuk dirumuskan dalam rumusan tunggal. Demikian pula yang terjadi di Pulau Nias dimana anak laki-laki dan anak perempuan dulunya terjadi perbedaan yang sangan mendasar dan sangat membeda-bedakan. Sekarang hal tersebut tidak terjadi lagi mengingat perkembangan yang cukup pesat di Pulau Nias mengakibatkan munculnya persamaan derajat antara anak laki-laki dan perempuan.

                       KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang mana telah memberikan rahmatNYA sehingga saat ini penulis telah dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENYELESAIAN SENGKETA DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEREMPUAN DALAM SISTEM HUKUM WARIS ADAT NIAS“  sebagai prasyarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang. Dengan rasa bangga saya persembahkan skripsi ini untuk semua Dosen dan Lembaga Fakultas Hukum yang sangat saya cintai.
Suatu hal yang sangat penting adalah bimbingan dan pengarahan dari seorang Bapak Dr. Candra Hayatul Iman. SH.,MH. Dan H. Dedi Pahroji, SH.,MH yang telah memberikan bimbingan dan mengarahkan saya dalam menyelesaikan skripsi ini, dan tidak lupa juga kepada para dosen dan komunitas Fakultas Hukum yang telah memberikan dukungan sampai selesainya skripsi ini.
Tentunya bukan merupakan pembelaan diri apabila penulis menyepakati bahwa “tidak ada gading yang tak retak” dan “tidak ada manusia yang sempurna”. Demikian juga dengan tulisan ini, kekeliruan dan kesalahan dalam segala bentuk tak mungkin dapat dihindari. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima dengan senang hati guna tercapainya suatu karya ilmiah yang benar–benar sistematis dan dapat dipertanggung jawabkan pada masa yang akan datang.
Untuk itu, adalah pantas penulis sampaikan rasa bakti dan terimakasih yang tak terhingga kepada para pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini, yaitu :
1. Prof. Dr. H. Moh. Wahyudin Zarkasyi, SE., MS, Ak, CPA selaku Rektor Universitas Singaperbangsa Karawang.
2. H. Suryana Marta, SH.,MH. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang.
3. M. Holyone N Singadimeja, SH.,MH. selaku Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang.
4. H. Deni Nuryadi, SH.,MH. selaku Kepala Program Studi Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang.
5. Dr. Candra Hayatul Iman, SH.,MH sebagai pembimbing I dalam penyusunan sikripsi ini, sekalugus sebagai wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan.
6. H. Dedi Pahroji, SH.,MH sebagai pembimbing II dalam penyusunan skripsi ini
7. Semua Dosen Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu per satu yang selama ini telah mendedikasikan ilmunya.
8. Orang Tua saya tercinta, yang selama ini memberikan dorongan baik meteri maupun spirit, sehingga saya bisa menyelesaikan tugas ini dan bisa mengabdi kepada masyarakat.
9. Semua sahabat di kelas yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
10. Semua sahabat saya LSM IKN-C yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang telah memberikan motifasi dan membantu saya dalam menyelesaiakn penyusunan skiripsi ini.
Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan bagi adik–adik kelas dapat dijadikan sebagai referensi dan bahan kepustakaan.
Amiin……
                                                                          Karawang, 01 Januari 2016.

Marlin Kusuman Waruwu
NPM : 1141173300042

                                        BAB I
                             PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hukum terlahir untuk mengatur kehidupan pergaulan manusia dalam berkeluarga dan bermasyarakat. Indonesia merupakan Negara yang tedirdiri dari berbagai Suku, Ras, Agama dan warna kulit. Setiap suku memiliki kebiasaan-kebiasaan tersendiri yang kita kenal sebagai adat.
Hukum adat merupakan aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, maka ia memulai hidupnya berkeluarga kemudian bermasyarakat, dan bernegara. Sejak manusia itu berkeluarga mereka telah mengatur dirinya dan anggota keluarganya menurut kebiasaan mereka, misalnya ayah pergi berburu atau mencari akar-akaran untuk bahan makanan, ibu menghidupkan api untuk membakar hasil buruan kemudian bersantap bersama. Perilaku kebiasaan itu berlaku terus menerus, sehingga merupakan pembagian kerja yang tetap.
Jadi adat adalah kebisaan masyarakat, dan kelompok-kelompok masyarakat lambat lau menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat, sehingga menjadi “hukum adat”. Untuk mempertahankan pelaksanaan hukum adat itu agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran, maka diantara anggota masyarakat diserahi tugas mengawasinya.
Dikalangan masyarakat umum (orang-orang awam) istilah hukum adat jarang digunakan, yang banyak dipakai dalam pembicaraan ialah istilah “adat” saja. Dengan menyebut kata “adat” maka yang dimaksud adalah “kebiasaan” yang pada umumnya harus berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Misalnya dikatakan “adat jawa” maka yang dimaksud adalah kebiasaan berperilaku dalam masyarakat Jawa. Begitu juga jika dikatakan “Adat Minang-kabau”, “Adat Batak”, “Adat Bugis” dan sebagainya.
Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari susunan kekerabatan masyarakat. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa “Hukum waris adat memiliki corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental, atau bilateral, walaupun dalam bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama”.
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi laki-laki yang berhak mendapat warisan. Sedangkan pihak perempuan dalam hal  ini merupakan pembagian warisan yang disebut masi-masi atau pemberian karena rasa sayang, pemberian tersebut biasanya berupa perhiasan-perhiasan dengan syarat turut serta membantu orang tuanya mencari nafkah keluarga dengan bekerja di ladang, kebun dan melaksanakan pekerjaan rumah dengan baik.
Dengan berbagai keganjalan dan ketidak adilan dalam pembagian warisan di Pulau Nias, yang telah diuraikan di atas, yang masih membeda-bedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan maka penulis tertarik untuk penyusunan skripsi dengan judul “PEYELESAIAN SENGKETA DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEREMPUAN DALAM SISTEM HUKUM WARIS ADAT NIAS”
B. Rumusan Masalah
Setelah penulis mengungkapkan hal-hal di atas maka penulis berkeinginan untuk meneliti, mempelajari serta membahas tentang Peyelesaian Sengketa Dan Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Perempuan Dalam Sistem Hukum Waris Adat Nias.
Adapun perumusan masalah tersebut sebagai berikut :
1. Hal-hal apa sajakah yang menjadi dampak dalam hukum waris adat Nias?
2. Bagaimanakah konsekwensi dan penyelesaian sengketa waris adat Nias?
3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan dalam sistem hukum waris adat Nias ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penulis mampu mengangkat hak-hak perempuan dan perlindungan hukum terhadap sistem pewarisan adat Nias, serta :
    1. Untuk mengetahui dampak dalam hukum waris adat Nias
    2. Untuk mengetahui konsekwensi dan penyelesaian sengketa waris adat Nias
    3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan dalam sistem hukum waris adat Nias

D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi masyarakat, terutama pada masyarakat Nias.
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
    1. Bagi penulis
Melalui penelitian ini, diharapkan mampu menambah wawasan bagi penulis tentang Peyelesaian Sengketan Dan Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Perempuan Dalam Sistem Hukum Waris Adat Nias, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. Penelitian ini bermaksud mengetahui sejauh mana dampak dalam hukum waris adat Nias dan konsekwensinya serta perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan.
    2. Bagi masyarakat
Melalui penelitian ini, diharapkan mampu memberikan informasi mengenai dampak dalam hukum waris adat Nias dan konsekwensinya serta perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan kepada masyarakat ada Nias
    3. Bagi mahasiswa
Dapat memberikan informasi bahwa Indonesia memiliki hukum adat yang beraneka ragam misalnya di Pulau Nias dan menambah referensi dalam hal penerapan hukum waris adat suatu daerah yang ada di Indonesia dan dapat dipakai sebagai acuan terhadap penulisan maupun penelitian sejenis, terutama untuk mahasiswa lain di Universitas Singaperbangsa Karawang.

E. Kerangka Pemikiran
Hukun waris adat adalah aturan-aturan adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi dari pewaris kepada para waris dari generasi ke generasi.
Warisan adalah soal apakah dan bagaimana pembagian hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih pada orang lain yang masih hidup.
Hukum adat bersifat dinamis, maksudnya bahwa hukum adat itu senentiasa berubah. Perubaha itu terutama disebabkan adanya pergeseran nilai-nilai keadilan dalam masyarakat adat itu sendiri karena apa yang dirasakan adil dahulu belum tentu dirasakan adil pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
Jika dilihat dari komposisi rumah tangga dalam suatu perkawinan di Nias yaitu Monogami, dimana anggota inti rumah tangga adalah suami, istri, dan anak-anak mereka sekandung atau tiri termasuk satu atau lebih anggata tambahan.
Tipe keluarga seperti ini disebut Sambua ngambato (Keluarga batin). Keluarga batin adalah pokok dan dasar. Keluarga besar (Extended Famili) atau Joint Families adalah bentuk tingkat kedua disamping keluarga nucclear.
Sambua ngambato adalah satu keluarga utuh terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Keluarga inilah yang menjadi dasar dari terjadinya proses pewarisan yang dibahas oleh penulis. Keluarga besar (Extended Famili) merupakan keluarga besar dimana terdapat keluarga itu masih memiliki kakek, nenek, ayah, ibu, dan anak-anak yang telah menikah, menantu, dan cucu yang lahir. Keluarga besar terbentuk dari “Sambua Ngambato” yang telah dibahas sebelumnya.
Rumah tangga selalu dibentuk dengan Bowoago (Periuk Masak). Bila dikatakan bahwa sebuah keluarga telah memiliki periuk masak sendiri berarti bahwa secara ekonomi keluarga batin tersebut telah bebas dan merdeka dari orang lain.
Hubungan keluarga mempunyai tempat penting dalam masyarakat kita, misalnya sebagai faktor dalam susunan persekutuan hukum dalam hukum perkawinan dan dalam hukum waris.
Sistem pambagian jika ayah meninggal dunia harus dilakukan dengan musyawarah keluarga para waris, yang dipimpin oleh ibu atau salah seorang ahli waris yang mampu menjadi penengah dan dapat berlaku adil, atau jika tidak ada dapat meminta bantuan para paman saudara dari ayah atau dari ibu. Harta warisan dan keluarga para ahli waris dan waris tidak sama maka tidak ada pula kesamaan jumlah banyak dan jenis warisan yang dibagikan.
Penulis menemukan beberapa permasalahan yang terjadi antara ahli waris dan saudara-audaranya yang sering muncul akibat tidak seimbang dalam pembagian. Permasalahan ini dapat berlanjut sampai Kepengadilan atau terjadinya tindak kriminal seperti membunuh saudaranya sendiri karena pembagian dianggap tidak adil. Alasan inilah yang melatar belakangi penulisan ini dilakukan.
Dalam setiap kesatuan masyarakat hukum, baik tingkat Banua maupun tingkat Õri terdapat satu badan Pemerintahan adat (eksekutif) dengan susunan sebagai berikut:
   1. Sanuhe
Sanuhe merupakan pemimpin didalam lingkungan adat dan berkewajiban mengadakan pesta yang disebut  “Fanaru’ö Banua” atau mendirikan kampung. Istilah adatnya yakni “solobö hili-hili danö” atau sanekhe hili-hili danö maksudnya ialah yang menyusun lembaga baru di Desa. Proses perolehan gelar “Sanuhe” jika seseorang sudah menduduki Bosi kesembilan atau bosi kesepuluh dan telah beberapa kali melaksanakan pesta adat.
Adapun tugas Sanuhe ialah sebagai:
    a.  Sebagai “fulitö li” atau tempat bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu
    b.  Sebagai “sangila huku” atau yang mengerti akan hukum serta dapat memutuskan hukuman warga sesuai kesalahan yang diperbuat
    c. Sebagai orang tua yang tahu tentang “Fondrakö”.
   d. Sebagai orang tua yang dapat membela warganya dari tekanan luar Desanya dari segala hal.
  2. Tambalina
Tambalina merupakan orang kedua setelah Sanuhe. Tugasnya yakni membantu “Sanuhe” dalam melaksanakan tugasnya  Istilah tambalina sering disebut “solohe ba ngai danö”, artinya yang menggariskan dan menjalankan segala peraturan dan nilai adat yang disesuaikan dalam hukum “fondrakö”.
Adapun tugas “tambalina” yakni:
    a. Mewakili sanuhe apabila berhalangan
Membantu sanuhe dalam menegakkan hukum fondrakö
    b. Membantu sanuhe dalam memutuskan hukuman
    c. Membantu sanuhe dalam mengadakan hubungan dengan desa lain
  3. Fahandrona,
Fahandrona dalam istilah Nias disebut “sangehaogö lala ba hele” artinya yang membuat atau membersihkan jalan ke pemandian/ sumur/ pancuran.
Adapun tugasnya yakni:
     a. Membantu tambalina dalam memberikan petunjuk kepada seluruh warga untuk dapat mematuhi semua garis hukum adat sesuai dengan Fondrakö
     b. Membantu tambalina untuk memberikan dorongan kepada seluruh warga Desa adat dalam mencari nafkah
     c. Membantu tambalina dalam menggerakan masyarakat membangun Desa dan bergotongroyong
     d. Menerima dan melayani segala keluhan warga untuk disampaikan kepada sanuhe agar mendapat keringanan atau pertimbangan.
  4. Si Daöfa
Si Daofa dalam istilah Nias disebut “sanuturu lala ba nidanö” artinya yang menunjuk jalan ke pemandian/ pancuran/ sumur atau yang menunjuk jalan untuk mendapat kebaikan.
Adapun tugasnya yakni:
Membantu pemimpin lainnya dalam melaksanakan kebersihan Desa.
Membantu warga untuk mengatur pengukuran dan letak perumahan warga Desa, serta mengatur bentuk rumah.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini